When I Met You - Monica Anggen |
Penulis : Monica Anggen
Penerbit : Caesar Media Pustaka
Terbit : April 2013
ISBN : 602-18760-3-2
Tebal : 242 hal
Harga : Rp. 42.000
Sudah satu bulan When I Met You beredar.
Ternyata masih ada yang penasaran dengan isi buku ini ya? Yuk kita baca bagian pembuka dari When I Met You
Prolog
Ketika aku bertemu
denganmu, mungkin saat itu dunia berhenti begitu saja.
Aku nyaris lupa
bagaimana caranya aku menarik nafas hanya dengan memandang matamu yang sebening
air di gelas kaca
Monique terpaku di tempatnya berdiri. Langkah kakinya
mendadak terhenti dan seketika itu pula ia merasakan kakinya seperti melekat
erat di lantai gedung bandara yang diinjaknya. Monique sama sekali tak mampu
bergerak. Hanya matanya yang bergerak-gerak gelisah ketika menatap satu sosok yang
berdiri tidak seberapa jauh dari tempatnya terdiam.
Laki-laki itu terlihat sangat eksotik dalam balutan kulit berwarna seperti susu cokelat yang terlalu pekat. Kulit itu
terlihat seperti kulit yang terlalu lama terpanggang di bawah terik matahari.
Sama sekali tak ada kekusaman yang terlihat pada kulit laki-laki itu, karena
jika diperhatikan dengan seksama maka kulit itu lebih
terlihat seperti lelehan cokelat berwarna muda yang sengaja disiramkan ke
seluruh tubuhnya.
Hidungnya mancung. Tuhan sepertinya sedang
berbaik hati ketika menciptakan laki-laki itu, sehingga Tuhan sengaja memahat hidungnya dengan ketelitian yang begitu sempurna. Dan berada di antara dua mata yang terlihat begitu bening, nyaris terlihat
seperti air di dalam gelas kaca. Beningnya terlalu menghanyutkan dan bersorot
sangat tajam, bagai mata seekor elang yang sedang mengincar
mangsanya. Meski sejujurnya, Monique belum pernah benar-benar
memerhatikan apakah memang mata burung elang setajam mata laki-laki itu.
Monique merasakan tubuhnya bergidik. Ada
gelenyar aneh yang merambati sekujur tubuhnya ketika mata laki-laki itu
menangkap basah dirinya yang sedang menatap dengan begitu penuh ketertarikan.
Di detik yang sama, Monique merasakan oksigen di sekitarnya menipis hingga ia
nyaris tak mampu menarik udara untuk mengisi paru-parunya yang mendadak kosong.
Monique lupa caranya menarik nafas. Kini yang tertinggal hanyalah kesesakan
yang mendadak menyelimuti dadanya.
“Adri ... Adri Inigo,” Laki-laki itu menyebutkan namanya
seraya mengulurkan tangannya ke hadapan Monique, untuk mengajak berjabat
tangan.
Monique kembali menggeletar tak berdaya dalam
pesona yang sungguh tak dimengertinya. Kehangatan merambat dari telapak
tangannya yang berada dalam genggaman tangan laki-laki itu. Kehangatan yang
merambat naik dengan cepat hingga mencapai pangkal tangannya, menyelinap perlahan
ke jantungnya yang seketika itu juga berdebar semakin kencang.
Suara bariton Adri yang dalam dan tegas sejenak
menghanyutkan Monique ke dunia antah berantah yang membuatnya berkhayal
pada sesuatu yang mistis. Entah kenapa, suara itu meninggalkan gemanya
terlalu dalam di sudut-sudut hati Monique yang sepi. Lalu dalam satu tarikan
nafas, kesadarannya kembali dan dengan tergagap Monique menyebutkan
namanya.
“Mo ... Monique.”
Monique merasakan panas merambati lehernya
saat ia menyebutkan namanya sendiri. Rasa
panas yang sama mulai naik ke pipinya. Detik itu, ia sangat yakin, pasti
wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Debaran di dadanya juga semakin
menggila. Monique mendadak diselimuti kecanggungan yang membuatnya
terlihat salah tingkah.
Adri terlalu memesona Monique. Memikatnya
begitu dalam pada pertemuan mereka
yang pertama kalinya. Setelahnya, Monique benar-benar tak menyangka
bahwa ia terus menunggu kehadiran Adri. Ia tak mampu mempedulikan
apa pun lagi. Ia hanya ingin bertemu Adri. Ia menginginkan
Adri lebih dari apa pun juga di dunia ini.
Monique sama sekali tak peduli akan liburan yang sebentar
lagi berakhir dan membuatnya terpisah dari laki-laki itu. Ia juga tak peduli
bahwa ada jurang pemisah yang membuat mereka akan sangat sulit untuk bersatu.
Hanya satu yang dipedulikan Monique, ia jatuh cinta pada Adri dan rela
melakukan apa pun untuk laki-laki itu.
Apa pun?
Apa ia rela mati hanya untuk membuat laki-laki itu
kembali padanya?
Entahlah.
Kenyataannya, Monique nekat berenang di tengah malam buta
dan berharap tatapan elang Adri mampu menemukannya dalam
kegelapan laut yang memeluknya.
Monique melangkah perlahan. Satu langkah demi satu
langkah. Sejenak tubuhnya menggigil ketika terpaan air laut yang asin dan
sedingin es itu merambati sekujur kakinya, naik ke pinggangnya dan mulai
merendam tubuhnya. Tinggi air yang dingin itu sudah hampir
menenggelamkan seluruh tubuhnya. Hanya kepalanya yang masih berada di atas air,
membuatnya mampu merasakan udara yang masih mengisi paru-parunya. Monique mulai memejamkan
matanya.
Lalu semua mendadak gulita bersama hempasan ombak besar yang
menenggelamkan tubuhnya dan sebuah tangan yang memeluknya dengan erat.
“Adri,” bisiknya lemah.
Sama sekali tak ada jawaban. Hanya nafas
hangat yang menerpa wajahnya dengan lembut sebelum akhirnya Monique larut dalam
ketidaksadarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar