Menulis Buruk



Judul ‘Menulis Buruk’ kutemukan saat aku membaca bukunya A. S Laksana yang berjudul “Creative Writing : Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel”. Saat membaca pembahasan tentang menulis buruk ini, aku merasa ‘tertampar’.

Kenapa?

Sejak penulisan novelku yang berjudul “Sunrise at The Sunset” aku mengalami masa-masa sulit dalam hal menulis naskah, baik itu naskah fiksi (novel dan cerpen) maupun naskah non fiksi. Aku yang dulunya bisa menyelesaikan satu naskah novel berjumlah halaman sekitar 150 dalam waktu satu minggu, tidak pernah lagi bisa melakukan hal itu. Novel Sunrise malah kuselesaikan dalam waktu yang cukup lama, hampir delapan bulan.

Saat itu aku berpikir, mungkin aku mengalami kejenuhan karena terlalu memforsir diri dalam menulis. Aku juga pernah berpikir mungkin aku mengalami kebosanan karena menjalani rutinitas yang sama hampir setiap hari, bangun tidur, duduk di depan laptop dan mengetik, makan sambil mengetik, ngobrol dengan suami saat suami di rumah atau menikmati acara nonton film bersama dari film-film yang berhasil di download suamiku. Lalu ketika suami tidur, aku kembali mengetik, dan ketika suami sudah berangkat kerja, aku baru terlelap dalam mimpi. Rutinitas berulang nyaris tidak ada variasi. Hanya sesekali aku keluar rumah untuk jalan-jalan sore di halaman STAN yang luas, dan hanya diakhir pekan, ketika suamiku libur, aku akan menikmati live musik di Bintaro Plasa. Memang, di waktu-waktu tertentu, tidak sering, aku pergi ke pertemuan penulis, bertemu dengan para senior, menimba ilmu, bertukar pikiran, lalu kembali berkutat dengan rutinitasku. Jadi kupikir, wajar kalau aku bosan dan jenuh dengan kehidupan yang kujalani hingga mempengaruhi proses kreatifku dalam menulis.

Tapi saat membaca buku ini, aku jadi tahu. Kebosanan dan jenuh bukanlah alasan utama kenapa aku mulai membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menulis (menghasilkan satu naskah jadi). Pada dasarnya, aku mulai terbebani dengan PERASAAN TAKUT.

Takut kalau naskah yang kuhasilkan buruk!
Takut kalau bukuku tidak laku!
Takut naskah ditolak penerbit!
Takut kalau cerita yang kutulis ternyata tidak mampu memuaskan pembacaku!
Dan berbagai macam ketakutan lain yang terus menghantuiku dan membuatku hanya berkutat dalam rasa takut itu sendiri.

“... menurut saya, sesuatu yang kacau pun tetap lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. Saya pikir, bahwa lebih baik menghasilkan draft tulisan yang buruk ketimbang hanya merenungi kertas kosong selama berjam-jam.” (A. S Laksana – Creative Writing halaman 13).

Apa yang ditulis oleh Pak A. S Laksana ada benarnya. Tidak ada naskah jadi jika tidak ada naskah buruk. Tidak akan pernah ada buku bagus jika naskah buruk pun tidak pernah kita tuliskan. Begitu pula halnya dengan naskah yang ditolak penerbit. Bagaimana mungkin penerbit menolak naskah kita sementara tidak ada satu pun naskah yang berhasil kita selesaikan?

Aku mulai berpikir ulang dan mencoba melihat ke belakang.

Dulu, aku menulis tanpa beban. Semua kata mengalir dengan lancar dari jemariku yang terus menari di atas keyboard. Tidak ada ketakutan akan menghasilkan tulisan buruk, toh nanti dari tulisan buruk yang sudah jadi, aku bisa membaca ulang dan memperbaikinya sekali lagi. Juga tidak ada tekanan untuk menghasilkan sesuatu yang ‘luar biasa’ karena dulu aku menganggap MENULIS ADALAH SUATU PROSES MENYENANGKAN DI MANA AKU BISA BERMAIN-MAIN MENJADI ORANG LAIN.

Kenapa setelah memiliki delapan novel aku jadi ketakutan seperti ini?

Mungkin ada harapan-harapan yang muncul di dalam hatiku, yang berbarengan dengan kemunculan rasa takut yang berlebihan. Harapan-harapan yang terlalu muluk mulai mempengaruhi ‘rasa’-ku dalam menulis. Aku jadi tidak merasa senang lagi saat menulis karena munculnya harapan—yang ternyata adalah tuntutan dari diriku sendiri—dan harapan itu membuatku terkubur dalam rasa takut hingga aku tidak bisa lagi menulis dengan lancar.

Jadi hari ini, aku bertekad kembali menjadi diriku yang dulu. Aku akan menulis untuk bersenang-senang. Aku menulis untuk bermain-main menjadi orang lain. Aku menulis untuk berbagi pengalaman, menceritakan suatu mimpi yang mungkin banyak dimiliki oleh orang lain—dan bisa jadi itu juga merupakan mimpiku—lalu berkhayal mencari berbagai macam cara untuk mewujudkan mimpi itu melalui karakter-karakterku.

MARI MENULIS BURUK! 

Tulis saja dulu semuanya. Tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Tulis saja, selesaikan secepatnya. Lalu ada waktunya sendiri untuk memperbaiki, memoles dan memperindah tulisan buruk ini menjadi lebih baik dan layak dibaca orang lain.

Label: